Latest Movie :

Laporan Keuangan Unaudited Tidak Dikecualikan

New Picture
Salah satu tujuan yang hendak dicapai oleh Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik adalah tujuan untuk mewujudkan tata kelola badan publik yang baik. Yaitu, tata kelola badan publik yang transparan dan akuntabel. Dengan terwujudnya tata kelola badan publik yang transparan dan akuntabel, pastilah dapat diharapkan dan akan diperoleh hasil yang signifikan bagi upaya untuk meningkatkan kualitas kemaslahatan publik melalui pengalokasian dan pemanfaatan keuangan badan publik bagi sebesar-besarnya tujuan kemaslahatan publik.

Saat ini pengertian dari tata kelola badan publik yang transparan dan akuntabel banyak disalahartikan atau disamarkan makna yang sebenarnya. Tata Kelola badan publik yang transparan dan akuntabel hanya dimaknai dengan adanya pembukaan akses informasi keuangan badan publik setelah tanggung jawab pengelolaan keuangannya diaudit. Dan informasi keuangan yang dibuka aksesnya kepada publik adalah informasi laporan audit atas laporan keuangan badan publik. Sedangkan informasi laporan keuangan badan publik unaudited yang merupakan dokumen asli keuangan badan publik sebelum diaudit tidak dibuka kepada publik.

Saat ini kebanyakan badan publik menganggap kalau dirinya telah melakukan tata kelola yang transparan dan akuntabel apabila laporan keuangannya yang telah diaudit kemudian dipublikasikan melalui media cetak atau media lainnya. Padahal, anggapan itu tidak sepenuhnya benar. Karena banyak sekali bukti yang menunjukkan kalau badan publik yang telah diaudit dan bahkan memperoleh status opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian), ternyata belakangan mengalami berbagai kasus penyimpangan pengelolaan keuangan dan kasus pidana lainnya yang terkait dengan tanggung jawab pengelolaan keuangan di badan publik.

Metode audit laporan keuangan badan publik, khususnya pada badan publik negara yang audit eksternalnya dilakukan oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), sesungguhnya hanya menggunakan metode uji sampel dan tidak melakukan audit secara menyeluruh (populasi). Dengan demikian, hasil dari pelaksanaan audit berupa pernyataan pendapat (opini), tidak mewakili keadaan sesungguhnya dari keseluruhan tanggung jawab pengelolaan keuangan di badan publik . Kalaupun dalam auditnya BPK memperoleh temuan-temuan hasil pemeriksaan berupa penyimpangan pengelolaan keuangan, umumnya temuan yang dimasukkan ke dalam LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan) hanya temuan-temuan penyimpangan yang masuk kategori TGR (Tuntutan Ganti Rugi) yang tidak cukup memberi pengaruh efek jera kepada si pelakunya, dan tidak signifikan memperbaiki tata kelola keuangan badan publik menjadi lebih akuntabel. Karena hampir semua LHP yang diproduksi oleh BPK setiap tahunnya mencatatkan adanya temuan-temuan penyimpangan, yang bahkan diantaranya banyak temuan yang bersifat identik atau penyimpangan berulang. Hal ini menunjukkan kalau kasus penyimpangan keuangan badan publik terus berlangsung dan merajalela. Karena budaya korupsi di tubuh birokrasi penyelenggaraan negara di Republik ini sudah sedemikian terstruktur dan terjadi secara sistematis di seluruh perangkat birokrasi. Sehingga, kalau BPK memperoleh temuan penyimpangan di satu unit/satuan kerja di lingkup badan publik dengan modus tertentu, maka pastilah modus seperti itu juga dipakai oleh unit/satuan kerja lainnya untuk mencuri uang negara atau setidak-tidaknya menggunakan modus itu untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain. Jadi kalau audit BPK yang menggunakan metode sampel menemukan satu dua penyimpangan, maka yang sesungguhnya terjadi adalah penyimpangan sejenis terjadi dalam jumlah puluhan bahkan ratusan kasus, yang BPK tidak punya kemampuan untuk menjangkaunya. Itulah sebabnya para birokrat korup tetap tidak punya rasa takut untuk terus melakukan penyelewengan dan penyimpangan, karena mereka tahu persis akan kemampuan BPK yang terbatas jangkauannya, dan mereka juga tahu kalau para auditor BPK bukanlah malaikat yang tidak akan tergiur oleh iming-iming gratifikasi yang ditawarkan oleh badan publik yang diperiksanya.

Sedangkan audit internal yang dilakukan oleh Inspeketorat di setiap badan publik negara justru tidak dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas pengelolaan keuangan badan publik dalam perspektif akuntabilitas publik. Tetapi, yang terjadi adalah lembaga Inspektorat lebih difungsikan sebagai instrumen pengaman internal badan publik untuk mencegah jangan sampai terjadi adanya banyak temuan-temuan pemeriksaan yang dilakukan oleh lembaga audit eksternal (BPK). Karena memang lembaga Inspektorat adalah lembaga yang dibentuk dan bekerja untuk mengawasi dirinya sendiri (badan publik), dan tidak ada mekanisme yang menjamin untuk pelaksanaan tugas Inspektorat dapat betul-betul independen dan profesional. Dengan kondisi proses audit yang demikian pada badan publik negara, baik audit internal maupun audit eksternal, maka dapat dipastikan kalau sesungguhnya tanggung jawab pengelolaan keuangan badan publik negara pada saat ini masih taraf kualitas rendah, dilihat dari perspektif akuntabilitas publik (pertangungjawaban secara langsung kepada publik).

Dengan adanya Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, sesungguhnya aspek akuntabilitas publik terhadap tanggung jawab pengelolaan keuangan badan publik dapat lebih ditingkatkan dan bahkan dapat mencapai taraf kualitas yang sangat baik, melalui pembukaan akses informasi pengelolaan keuangan badan publik kepada publik secara menyeluruh. Tidak hanya sebatas pada informasi laporan keuangan pasca audit, tetapi akses juga dibuka kepada informasi keuangan pra audit. Dengan dibukanya akses bagi publik untuk mengetahui kondisi keuangan badan publik secara menyeluruh termasuk yang unaudited, maka publik dapat menjalankan fungsi pengawasan publik yang lebih efektif untuk mendukung badan publik melaksanakan tata kelola keuangan badan publik yang lebih bertanggung jawab (akuntabel). Sekaligus publik dapat berperan serta untuk mendukung pelaksanaan audit yang lebih transparan dan partisipatif, melalui peran serta publik untuk menyampaikan saran masukan dan data temuan penyimpangan yang luput dari deteksi auditor.

Sesungguhnya ruang keterlibatan publik untuk turut mengawasi keuangan badan publik telah dibuka lebar-lebar oleh Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Yaitu melalui aturan yang mewajibkan badan publik untuk mengumumkan informasi laporan keuangan dalam bentuk ringkasan informasi yang wajib ditayangkan pada situs resmi badan publik, dan menyediakan dokumen lengkapnya untuk dapat diakses oleh publik sebagai jenis informasi yang wajib tersedia setiap saat. Karena informasi dokumen lengkap laporan keuangan badan publik oleh UU KIP diposisikan sebagai jenis informasi publik yang dapat diakses oleh publik melalui prosedur permintaan. Dengan demikian, menurut UU KIP, informasi keuangan badan publik adalah bersifat terbuka keseluruhannya. Baik informasi laporan keuangan dalam bentuk ringkasan berupa Neraca, Laporan Arus Kas, Realisasi Anggaran, Daftar Aset dan Investasi, serta Catatan Atas Laporan Keuangan, maupun informasi laporan keuangan dalam bentuk dokumen lengkap berupa seluruh dokumen yang dibuat, diterbitkan, dikeluarkan dan/atau terkait dengan pengelolaan keuangan badan publik. Begitupun UU KIP tidak membatasi informasi keuangan badan publik yang dapat diakses oleh publik hanya yang sudah diaudit. Tetapi, informasi keuangan badan publik yang unaudited juga termasuk dokumen publik yang dapat diakses oleh publik.

Sayangnya, ruang keterlibatan publik dalam fungsi pengawasan publik atas tanggung jawab pengelolaan keuangan badan publik yang telah dibuka lebar-lebar oleh UU KIP saat ini belum dapat dimanfaatkan dengan maksimal oleh publik. Hal ini diakibatkan adanya kondisi setbeck yang justru menghambat berjalannya fungsi pengawasan publik yang efektif atas tanggung jawab pengelolaan keuangan badan publik. Kondisi negatif ini berasal dari penafsiran sesat Komisi Informasi yang menempatkan informasi laporan keuangan badan publik unaudited sebagai jenis informasi yang tidak bersifat terbuka atau diposisikan sebagai informasi rahasia (dikecualikan). Dari beberapa kasus sengketa informasi publik yang ditangani oleh Komisi Informasi Pusat dan Komisi Informasi Provinsi/Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, dihasilkan beberapa putusan Komisi Informasi yang memposisikan informasi laporan keuangan unaudited sebagai informasi yang tidak dapat diakses publik.

Tindakan Komisi Informasi yang menempatkan informasi laporan keuangan badan publik yang belum diaudit sebagai informasi yang tertutup dari akses publik, sesungguhnya merupakan tindak pengkhianatan kepada keterbukaan informasi publik itu sendiri. Dan tidak sulit bagi publik untuk menganalisa serta menemukan motif sesungguhnya dari para Komisioner Komisi Informasi di seluruh Indonesia yang secara berjamaah menghambat publik untuk mengakses informasi keuangan badan publik secara lengkap dan menyeluruh. Yaitu, setidaknya ada dua hal yang melatarbelakangi tindakan destruktif para Komisioner KIP itu. Yang pertama, Hampir semua Komisioner Komisi Informasi di seluruh Indonesia direkrut melalui jalur nepotisme (hubungan kekerabatan atau kroni). Dimana proses seleksi rekrutmen anggota Komisi Informasi yang ada saat ini masih menerapkan metode seleksi yang sangat membuka celah nepotisme dan minim akses pengawasan publik. Sehingga, seluruh Komisioner Komisi Informasi yang terekrut adalah orang-orang dengan kualitas integritas yang rendah dan tidak anti korupsi. Maka, orang-orang seperti ini sangat mudah dikooptasi oleh badan publik melalui imbal jasa transaksi gelap yang saling menguntungkan. Karena bagi badan publik, pembukaan akses terhadap informasi laporan keuangan yang unaudited kepada publik adalah suatu ancaman yang dapat membahayakan posisi pejabat dan elit kekuasaan di badan publik. Jadi, tidak dapat dilepaskan kalau tafsir sesat yang dibuat oleh Komisioner Komisi Informasi yang memposisikan informasi keuangan badan publik unaudited sebagai informasi tertutup dan tidak dapat diakses oleh publik, adalah karena adanya faktor invervensi badan publik yang tujuannya adalah untuk mengamankan pejabat dan elit badan publik yang tergolong pejabat/elit korup. 

Faktor yang kedua adalah karena publik sendiri belum melakukan upaya yang keras untuk mengadvokasi agar akses publik atas tanggung jawab pengelolaan keuangan badan publik tidak dibatasi, yang ironisnya pembatasan itu justru dilakukan oleh Komisi Informasi yang oleh UU KIP diberi mandat untuk mewujudkan keterbukaan informasi publik di Indonesia. Dalam hal ini, para aktivis keterbukaan informasi publik, diantaranya organisasi masyarakat sipil yang konsentrasi pada kegiatan untuk mengadvokasi transparansi anggaran negara seperti FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) dan organisasi masyarakat sipil yang konsentrasi pada kegiatan anti korupsi seperti ICW (Indonesia Corruption Watch) nampaknya belum melakukan upaya advokasi yang cukup kerjas dan memberi pengarush yang kuat untuk mendorong agar akses publik terhadap informasi tanggung jawab pengelolaan keuangan badan publik tidak dilakukan pembatasan. Dengan begitu, publik dapat terlibat aktif untuk ikut menjaga agar pengurusan keuangan badan publik dapat dilakukan dengan amanah, dan tidak ada serupiahpun yang bocor masuk ke kantong koruptor melewati lorong gelap ketertutupan informasi.
Share this article :
 
Support : Copyright © 2015. Perkumpulan_Sahabat_Muslim - All Rights Reserved
Template Created by Sahabat Muslim Published by Sahabat Muslim Indonesia