Latest Movie :

Proses Hukum Sengketa KIP Rugikan Publik

New Picture (9)
Pasal 1 angka 5 UU KIP menyebutkan Sengketa Informasi Publik adalah sengketa yang terjadi antara Badan Publik dan Pengguna Informasi Publik yang berkaitan dengan hak memperoleh dan menggunakan informasi berdasarkan peraturan perundang-undangan. Definisi ini memposisikan sengketa informasi publik adalah terjadinya perselisihan hukum antara badan publik dengan warga negara mengenai hak memperoleh dan menggunakan informasi publik.

Terjadinya perselisihan hukum antara badan publik sebagai penyedia informasi dengan warga negara sebagai pengguna informasi disebabakan oleh adanya tindakan badan publik sebagaimana disebutkan dalam pasal 35 ayat (1) UU KIP, yaitu badan publik melakukan tindakan tidak menyediakan dan tidak mengumumkan informasi publik yang wajib diumumkan secara berkala atau yang wajib diumumkan secara serta merta, atau badan publik melakukan tindakan menolak memberikan informasi publik yang diminta oleh warga negara Pemohon Informasi, atau badan publik melakukan tindakan tidak menanggapi atau tidak memenuhi permintaan informasi publik yang diajukan oleh warga negara Pemohon Informasi, atau badan publik melakukan tindakan memberikan informasi tidak sesuai dengan yang diminta atau informasi diberikan tidak lengkap, atau badan publik melakukan tindakan mengenakan biaya perolehan informasi secara tidak wajar kepada warga negara Pemohon Informasi. Dimana tindakan badan publik sebagaimana dimaksud mengakibatkan warga negara Pengguna Informasi mengalami kesulitan, hambatan dan/atau kegagalan untuk mengakses informasi yang diperlukannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terjadinya sengketa informasi publik adalah disebabkan oleh tindakan badan publik yang tidak menyediakan dan/atau tidak menerbitkan/mengumumkan dan/atau tidak memberikan informasi kepada warga negara pengakses informasi publik, yang kemudian warga negara mengajukan permohonan penyelesaian sengketa informasi publik kepada Komisi Informasi.

New Picture (16)
Untuk menyelesaikan suatu sengketa informasi Publik, UU KIP menyediakan prosedur hukum melalui jalur ajudikasi non litigasi yang ditangani oleh Komisi Informasi sebagai lembaga semi peradilan (quasi judicial). Dalam hal ini, UU KIP memberikan kewenangan kepada Komisi Informasi untuk menerima, memeriksa dan memutuskan sengketa informasi publik yang diajukan oleh Warga Negara Pengguna/Pemohon Informasi Publik melalui proses mediasi dan/atau sidang ajudikasi.

Dalam proses penyelesaian sengketa informasi publik, UU KIP menempatkan warga negara sebagai pihak Pemohon Sengketa dan badan publik sebagai pihak Termohon Sengketa. Posisi ini tidak sama dengan posisi para pihak dalam sengketa niaga yang ditangani oleh Pengadilan Negeri dan/atau sengketa pernikahan yang ditangani oleh Pengadilan Agama, yang menggunakan istilah Penggugat dan Penggugat. Tetapi, posisi para pihak dalam sengketa informasi publik sama dengan posisi para pihak dalam sengketa Pemilu atau sengketa kontitusi yang ditangani oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu sebagai pihak Pemohon dan pihak Termohon. Sedangkan dalam sengketa persaingan usaha tidak sehat yang ditangani oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha, istilah yang dipakai adalah pihak Pelapor dan pihak Terlapor. Begitu juga pada sengketa pelayanan publik yang ditangani oleh Ombudsman RI, istilah yang dipakai adalah pihak Pelapor/Pengadu dan pihak Terlapor/Teradu.

Jika dicermati hal yang menjadi penyebab terjadinya sengketa informasi publik, yaitu adanya tindakan badan publik yang tidak membuka akses informasi kepada publik, secara substantif sesungguhnya merupakan tindakan tidak memberikan pelayanan kepada warga negara. Mengingat UU KIP menempatkan tindakan badan publik untuk menyediakan dan/atau mengumumkan dan/atau memberikan informasi kepada publik adalah merupakan tindakan pelayanan, yang secara hukum wajib dilaksanakan oleh badan publik. Dengan demikian, status sengketa informasi publik sesungguhnya sangat berbeda dengan status sengketa niaga yang merupakan perselisihan hukum antara para pelaku usaha, atau sengketa persaingan usaha tidak sehat yang merupakan tindakan dari satu pihak yang diduga melakukan suatu perbuatan yang mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat yang kemudian dilaporkan oleh pihak lain kepada KPPU, atau sengketa pernikahan yang terjadi antar pasangan suami istri, atau sengketa Pemilu yang terjadi antar para perserta Pemilu terkait dengan hasil perhitungan suara Pemilu. Namun, sengketa informasi publik sesungguhnya identik dengan sengketa pelayanan publik yang menjadi ranah kewenangan Ombudsman RI. Yaitu, terkait dengan tindakan tidak memberikan pelayanan sesuai standar pelayanan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hanya bedanya, hasil penanganan sengketa oleh Ombudsman RI adalah berupa Rekomendasi atau Saran Perbaikan, sedangkan hasil penanganan sengketa oleh Komisi Informasi adalah berupa Putusan Mediasi dan/atau Putusan Ajudikasi.

New Picture (12a)
Posisi hukum sengketa informasi publik yang substansinya adalah tindakan badan publik yang tidak memberikan pelayanan, dan penyelesaian proses hukumnya ditangani oleh Komisi Informasi melalui proses mediasi dan/atau sidang ajudikasi, sesungguhnya sangat menguntungkan warga negara. Karena melalui proses hukum ini dapat dihasilkan penyelesaian sengketa yang memiliki kekuatan hukum kuat berupa Putusan Mediasi yang memiliki kekuatan hukum perdata dan dapat diajukan gugatan ganti rugi ke Pengadilan Negeri apabila hasil kesepakatan Mediasi diingkari oleh pihak badan publik, atau berupa Putusan Ajudikasi yang memiliki kekuatan hukum setara putusan Pengadilan dan dapat dimintakan eksekusi kepada Pengadilan serta dapat diajukan tuntutan pidana apabila pihak badan publik tidak melaksanakan putusan ajudikasi yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Tetapi, posisi hukum sengketa informasi publik kemudian menjadi rancu dan merugikan warga negara, ketika penyelesaian sengketa informasi publik di Komisi Informasi bukan merupakan akhir dari proses penyelesian sengketa yang bersifat final seperti yang ada di Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini, proses penyelesaian sengketa informasi publik saat ini diposisikan sebagai proses pengadilan. Dimana penyelesaian di Komisi Informasi diposisikan sebagai pengadilan tingkat Pertama, penyelesaian di PTUN atau PN sebagai pengadilan tingkat Banding, dan penyelesaian di Mahkamah Agung sebagai pengadilan tingkat Kasasi. Meskipun UU KIP tidak secara eksplisit menyebutkan kalau Komisi Informasi dianggap berkedudukan sebagai lembaga pengadilan tingkat pertama, namun pada prakteknya saat ini Komisi Informasi telah menjadi lembaga pengadilan tingkat pertama, yang putusan ajudikasinya dianggap benar sampai ada putusan yang membatalkan oleh Pengadilan di atasnya. Artinya, apabila badan publik tidak menerima putusan Komisi Informasi, maka badan publik berhak untuk mengajukan gugatan banding ke Pengadilan dan dapat memposisikan warga negara Pengguna Informasi sebagai pihak Tergugat. Konsekuensinya adalah pihak warga negara dapat menjadi pihak yang dikalahkan dan dapat menjadi pihak yang dihukum untuk membayar biaya perkara.

New Picture (11a)
Posisi hukum sengketa informasi publik seperti ini sangatlah merugikan hak warga negara. Karena selain proses penyelessaian sengketa informasi publik menjadi begitu panjang dan memakan waktu yang sangat lama, juga hak warga negara atas akses informasi publik dapat menjadi dihilangkan oleh Pengadilan dengan membatalkan putusan Komisi Informasi yang telah memerintahkan badan publik untuk membuka akses informasi kepada publik. Dan seandainyapun hasil putusan Pengadilan ataupun putusan Kasasi Mahkamah Agung misalnya memenangkan pihak Pemohon Informasi, tetapi proses penyelesaian sengketa informasi publik yang begitu panjang dan lama berakibat menghilangkan kemanfaatan akses informasi atau setidak-tidaknya kemanfaatan atas informasi yang hendak diakses menjadi berkurang karena informasi tersebut tidak lagi aktual dan sudah basi atau pemanfaatannya tidak sepenting pada waktu hendak diakses sebelum terjadinya proses penyelesaian sengketa informasi publik yang bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun lamanya. Jika proses meminta informasi kepada badan publik memerlukan waktu paling sedikit 10 + 7 + 30 hari kerja, kemudian proses penyelesaian sengketa informasi di Komisi Informasi memerlukan waktu setidaknya 100 hari kerja, dan proses di Pengadilan memakan waktu paling sedikit 90 hari kerja, serta proses di Mahkamah Agung setidaknya memerlukan waktu 60 hari kerja, maka rangkaian proses sangat panjang yang harus dilalui oleh warga negara untuk mendapatkan akses informasi publik sekurang-kurangnya adalah satu tahun. Posisi hukum demikian adalah sangat sangat merugikan warga negara, sangat tidak adil, dan sangat mencederai hak konstitusional warga negara yang telah dijamin oleh pasal 28 F UUD 1945, yaitu hak atas informasi.

Beberapa kerancuan yang bisa disimpulkan dari posisi hukum sengketa informasi publik pada prakteknya saat ini antara lain, pertama jika sengketa informasi publik adalah perselisihan hukum yang penyelesaiannya dimohonkan kepada Komisi Informasi, maka seharusnya hasil putusan Komisi Informasi adalah bersifat final dan mengikat. Seperti halnya yang terjadi di Mahkamah Konstitusi pada penyelesaian sengketa Pemilu atau sengketa terkait konstitusi. Kerancuan yang kedua, kalau putusan Komisi Informasi dapat dilakukan banding ke Pengadilan oleh pihak Badan Publik, maka seolah-olah Komisi Informasi menjadi lembaga Pengadilan tingkat pertama. Padahal, Majelis Komisioner Komisi Informasi yang menangani sengketa informasi publik bukanlah Majelis Hakim yang memiliki kewenangan mengadili. Dan lembaga Komisi Informasi bukan lembaga Pengadilan yang putusannya harus dianggap benar sampai ada putusan pengadilan di atasnya yang membatalkan. Kerancuan ketiga, dengan diberinya hak gugat kepada pihak Badan Publik untuk mengajukan banding atas putusan Komisi Informasi kepada Pengadilan, mengakibatkan posisi warga negara dapat berubah dari pihak Pemohon Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Komisi Informasi kemudian menjadi pihak Tergugat di Pengadilan. Kerancuan keempat, dengan dimilikinya hak gugat oleh publik, maka badan publik dapat menuntut kepada Pengadilan agar warga negara dihukum untuk membayar biaya perkara. Kerancuan kelima, kalau badan publik tidak menerima putusan Komisi Informasi, kenapa jadi warga negara yang digugat ke Pengadilan dan kemudian dihukum membayar biaya perkara? Kerancuan keenam, sesungguhnya UU KIP sama sekali tidak memberikan hak kepada badan publik untuk dapat menggugat warga negara apabila tidak menerima putusan Komisi Informasi. Badan publik baru mempunyai hak gugat berupa pengajuan Kasasi kepada Mahkamah Agung apabila proses penyelesaian sengketa informasi di Komisi Informasi dibawa ke Pengadilan oleh warga negara melalui prosedur pengajuan keberatan. Karena ketentuan pasal 47 UU KIP jelas-jelas hanya memberikan hak gugat kepada Warga Negara dan tidak memberikan hak gugat kepada Badan Publik. Dan kerancuan yang ketujuh adalah jika badan publik diberikan hak gugat, maka terjadi praktik hukum sesat di negeri ini, dimana negara dapat menggugat warga negara. Dalam hal ini, negara yang diwakili oleh badan publik negara menggugat warga sendiri hanya karena warganya itu ingin mengakses sepotong informasi.

New Picture (3)
Pertanyaan sederhananya adalah, apakah patut jika untuk mendapatkan hak atas sepotong informasi, negara ini kemudian menyediakan mekanisme hukum yang begitu luar biasa menyulitkan dan merugikan warga negara? Dan dimana akal sehat orang-orang yang merumuskan aturan hukum penyelesaian sengketa informasi publik yang menempatkan posisi hukum warga negara dapat menjadi pihak yang digugat oleh badan publik dan dapat dihukum oleh Pengadilan untuk membayar biaya perkara?

Lalu, bagaiman kita menjawab anak-anak kita yang bertanya, apa minta informasi itu salah? kok jadi dihukum? Mungkin para penegak hukum di negeri ini terlalu banyak minum khamer (rizki hasil korupsi), sehingga terus menerus mabok kekuasaan.
Share this article :
 
Support : Copyright © 2015. Perkumpulan_Sahabat_Muslim - All Rights Reserved
Template Created by Sahabat Muslim Published by Sahabat Muslim Indonesia