Latest Movie :

Hak Warga Negara Yang Dirampas Komisi Informasi

Komisi Informasi adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Tujuan dibentuknya Komisi Informasi adalah untuk menjadi lembaga negara yang memberikan pelayanan kepada warga negara dalam rangka menjamin dan melindungi hak setiap warga negara atas akses informasi publik. Tugas pokok dan fungsi Komisi Informasi adalah menyelesaikan sengketa informasi publik yang terjadi antara warga negara melawan badan publik. Yaitu, sengketa informasi publik yang terjadi karena adanya tindakan badan publik yang tidak membuka informasi kepada publik. Berdasarkan pasal 37 UU KIP, setiap warga negara dapat mengajukan sengketa informasi publik kepada Komisi Informasi, apabila badan publik melakukan tindakan tidak mengumumkan informasi yang wajib diumumkan kepada publik. Baik diumumkan secara berkala maupun secara serta merta. Atau badan publik tidak menanggapi dan tidak memenuhi permintaan informasi publik yang diajukan oleh warga negara. Atau badan publik tidak memberikan informasi publik sesuai permintaan (tidak memberikan secara lengkap atau tidak memberikan sebagaimana yang diminta). Atau badan publik tidak memberikan informasi kepada warga negara menurut batas waktu yang ditentukan oleh UU KIP, yakni paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak permintaan diajukan oleh warga negara.

Komisi Informasi yang menerima pengajuan sengketa informasi publik dari warga negara wajib menindaklanjuti dan memproses penyelesaian sengketa informasi publik dalam jangka waktu paling lama 100 (seratus) hari kerja. Dan didalam melaksanakan tugasnya, Komisi Informasi menggunakan dua metode penyelesaian sengketa informasi publik. Yaitu, Mediasi dan Ajudikasi. Mediasi adalah metode penyelesaian sengketa informasi publik melalui cara musyawarah atau proses perundingan antara para pihak yang bersengketa, dengan difasilitasi oleh Mediator dari Komisi Informasi. Yang hasilnya adalah berupa Kesepakatan Perdamaian. Sedangkan Ajudikasi adalah metode penyelesaian sengketa informasi publik melalui cara persidangan, layaknya sidang di Pengadilan. Yang hasilnya adalah berupa Putusan Ajudikasi, yang memiliki kekuatan hukum setara putusan Pengadilan.

Tugas pokok dan fungsi Komisi Informasi yang sudah ditentukan oleh UU KIP, pada prakteknya tidak berjalan dengan baik. Kenyataan yang ada saat ini menunjukkan, Komisi Informasi Pusat maupun Komisi Informasi Provinsi dan Komisi Informasi Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia tidak konsisten menjalankan tugas pokok dan fungsinya, dalam rangka untuk menjamin dan melindungi hak setiap warga negara atas akses informasi publik. Yang terjadi justru Komisi Informasi telah menjelma menjadi salah satu faktor penghambat pemenuhan hak warga negara atas akses informasi publik. Dalam hal ini, Komisi Informasi telah mengalami disorientasi tugas pokok dan disfungsi kelembagaan. Yang seharusnya pelaksanaan tugas Komisi Informasi adalah fokus kepada pelayanan penyelesaian sengketa informasi publik, tetapi kecenderungan yang ada saat ini menunjukkan Komisi Informasi tidak fokus pada tugasnya menyelesaikan sengketa informasi publik. Melainkan lebih banyak melakukan kegiatan selain tugas menyelesaikan sengketa informasi publik Begitu juga, fungsi Komisi Informasi sebagai lembaga penyelesai sengketa informasi publik, telah terdistorsi dari lembaga pelayanan menjadi lembaga kekuasaan belaka. Dalam hal ini, fakta menunjukkan kalau Komisi Informasi lebih bersemangat untuk menggunakan kekuasaannya menggugurkan permohonan sengketa informasi publik yang diajukan oleh warga negara, ketimbang memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya agar hak warga negara atas akses informasi publik dapat betul-betul dilindungi dan diberikan jaminan kepastian hukum.

Disorientasi tugas dan disfungsi kelembagaan Komisi Informasi yang terjadi saat ini, bila ditelisik lebih dalam, ternyata bermula dari awal perumusan UU KIP itu sendiri. Sebagaimana diketahui, memang kehadiran UU KIP cukup kontroversial dan cenderung tidak dikehendaki oleh sebagian elit kekuasaan, yang menganggap kebebasan akses informasi publik dapat menjadi ancaman dan membayahakan posisi mereka. Sehingga, dengan berbagai cara, dilakukan upaya penghadangan dan penghambatan. Agar keterbukaan informasi publik tidak sampai menyentuh diri mereka, atau setidak-tidaknya mengupayakan agar UU KIP tidak memiliki daya hukum yang kuat, dan Komisi Informasi "disetting" agar menjadi lembaga macan ompong belaka.

Maka, upaya pelemahan demi pelemahan pun dilakukan. Setelah melalui proses pembahasan yang sangat alot tak kurang dari 6 (enam) tahun lamanya, RUU Kebebasan Informasi Publik yang merupakan produk hak inisiatif DPR yang diusulkan pada tahun 2002, baru diketuk palu dan disahkan menjadi UU KIP pada tahun 2008. Konstruksi hukum dalam draft RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik yang begitu sangat kuat melindungi kebebasan hak akses informasi publik warga negara, kemudian "dirombak" dan dilemahkan ketika menjadi UU KIP. Komisi Informasi yang seharusnya dapat menjadi lembaga negara yang mandiri, kuat dan profesional, kemudian dilemahkan sedemikian rupa. Dimana fakta menunjukkan kalau Komisi Informasi yang ada saat ini lebih mirip sebagai lembaga banci dan pemboros keuangan negara belaka, yang nyaris tidak mampu menjalankan fungsinya untuk mewujudkan keterbukaan informasi publik di Indonesia.

Hal yang paling terlihat dari pelemahan terhadap Komisi Informasi adalah pada proses perekrutan dan orang-orang yang diplih menjadi Komisioner Komisi Informasi. Dalam hal ini, proses rekrutmen dan orang yang dipilih, masih sangat didominasi oleh pola dan budaya KKN. Sehingga, mereka yang kemudian menjadi Komisioner adalah orang-orang yang tidak cukup memiliki integritas, tidak cukup memiliki kompetensi, dan terutama tidak cukup memiliki visi dan idealisme untuk mewujudkan keterbukaan informasi publik di Indonesia. Pelemahan terhadap SDM yang menjadi Komisioner Komisi Informasi, kemudian ditambah lagi dengan pelemahan pada aspek tata kelola Kesekretariatan Komisi Informasi. Dalam hal ini, kesekretariatan Komisi Informasi tidak ditempatkan untuk mendukung tata kelola lembaga Komisi Informasi yang kuat dan mandiri, tetapi diseting untuk menjadi alat kepentingan rejim ketertutupan informasi yang masih dianut oleh induk semangnya. Di tingkat pusat, Komisioner Komisi Informasi Pusat tidak berdaya dan memilih menjadi banci saja, yang dengan senang hati mengikuti saja arah kebijakan induk semangnya, yakni Kementerian Komunikasi dan Informatika. Sehingga, ketika Kementerian Kominfo merancang skema kegiatan dan anggaran Komisi Informasi, seluruh Komisioner mengamini saja. Padahal, skema rancangan kegiatan dan anggaran tersebut sangat menyalahi kepada tupoksi Komisi Informasi itu sendiri. Sedangka Komisioner Komisi Informasi di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota lebih parah lagi posisinya. Para Komisioner Komisi Informasi di daerah ini malahan secara terang-terangan memposisikan dirinya sebagai subordinat dari kelembagaan pemerintah daerah. Dan tidak merasa malu untuk mengkhianati amanat UU KIP, yang telah menempatkan status kelembagaan Komisi Informasi sebagai lembaga negara yang mandiri, bukan antek pemerintah.

Pelemahan kelembagaan dan sumber daya manusia Komisi Informasi terbukti berhasil cukup gemilang untuk menghambat laju keterbukaan informasi publik di Infonesia. Para aktivis keterbukaan informasi publik yang bersemangat memanfaatkan undang-undang Keterbukaan Informasi Publik bagi upaya penguatan advokasi masyarakat untuk tujuan mencegah dan memberantas praktik-praktik korupsi di tubuh badan publik, khususnya badan publik negara, harus menelan pil pahit. Karena ternyata, perjuangan untuk mendapatkan hak akses informasi publik tidak saja harus menghadapi badan publik yang masih menganut rejim ketertutupan informasi, tetapi hambatan paling sulit dan hadangan paling keras justru datang dari lembaga Komisi Informasi. Tak terhitung banyaknya kasus-kasus sengketa informasi publik yang dijegal, dipatahkan dan dimentahkan oleh Komisi Informasi, dengan berbagai modus. Mulai dari modus mempermasalahkan legal standing warga negara, modus tidak mengabulkan sebagian dari permohonan informasi yang menjadi obyek sengketa, modus memprivatkan informasi publik yang menjadi obyek sengketa, modus mengulur-ulur waktu penuntasan sengketa, modus memberi kemudahan prosedur kepada pihak badan publik tetapi sebaliknya mempersulit prosedur kepada pihak warga negara, sampai dengan modus sengaja tidak memproses pengajuan sengketa yang sudah diajukan oleh warga negara, dan tidak merasa bersalah atau setidak-tidaknya merasa malu karena tidak dapat memenuhi tugasnya untuk menyelesaikan sengketa informasi publik yang diajukan oleh warga negara dalam batas waktu paling lama 100 hari kerja, sesuai amanat pasal 38 ayat (2) UU KIP.

Dan pelemahan yang tak kalah strategisnya adalah pelemahan mekanisme penanganan laporan atau pengaduan pelanggaran kode etik Komisi Informasi. Komisioner Komisi Informasi yang diduga melakukan tindakan melanggar kode etik, menjadi sulit untuk diproses dan dikenai sanksi. Mengingat prosedur penanganan laporan/pengaduan dugaan Kode Etik Komisi Informasi berdasarkan Peraturan Kode Etik Komisi Informasi adalah melalui rapat pleno Komisi Informasi. Sehingga, Komisioner Komisi Informasi itu sendiri yang menentukan apakah laporan/pengaduan akan ditindaklanjuti atau tidak. Dalam hal ini, jika laporan atau pengaduan dugaan pelanggaran kode etik itu akan mengena pada diri mereka sendiri, maka laporan/pengaduan tidak digubris sama sekali. Dan tidak ada aturan yang memberi sanksi jika laporan/pengaduan pelanggaran kode etik tidak ditindaklanjuti. Bukti konkrit atas hal ini terjadi nyata di Komisi Informasi Pusat. Ada sekian banyak laporan dan pengaduan masyarakat terkait dugaan pelanggaran kode etik oleh Komisioner Komisi Informasi Pusat dan Komisioner Komisi Informasi Provinsi yang telah dilaporkan/diadukan lebih dari satu tahun lamanya, namun penanganannya sampai saat ini tidak jelas dan menggantung begitu saja. Sebaliknya, ketika dugaan pelanggaran kode etik terkait kepentingan diantara Komisioner Komisi Informasi itu sendiri, kasusnya langsung diproses dengan cepat. Hal ini terbukti pada kasus dugaan pelanggaran kode etik Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat Usman Abdhali Watik, yang kemudian dikenai sanksi pemberhentian sementara oleh Badan Kehormatan yang dibentuk berdasarkan keputusan rapat pleno Komisi Informasi Pusat. Padahal, sampai saat ini masih menjadi misteri dan tidak jelas siapa pihak masyarakat yang melaporkan dan mengadukan kasus dugaan pelanggaran kode etik Komisi Informasi atas nama Usman Abdhali Watik itu. Karena informasi terkait hal tersebut ditutup rapat-rapat oleh Komisi Informasi Pusat. Bahkan, ketika ada warga negara yang menempuh prosedur meminta informasi mengenai hal itu, pihak Komisi Informasi Pusat sama sekali tidak merespon, sampai akhirnya menjadi kasus sengketa informasi publik yang juga sampai saat ini menggantung tak menentu proses penyelesaian sengketanya. Informasi yang tersebar ke publik justru menyebutkan kalau pelanggaran kode etik Usman Abdhali Watik dilatarbelakangi dan bersumber dari masalah gontok-gontokan di kalangan Komisoner Komisi Informasi Pusat itu sendiri. Yaitu, gontok-gontokan untuk memperebutkan posisi jabatan Ketua/Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat, dan gontok-gontokan untuk memperebutkan kue anggaran dan berebut kesempatan untuk menjadi Narasumber kegiatan-kegiatan sosialiasi yang ada honor kegiatannya.

Dan akhirnya, publik jugalah yang menjadi korban dari semua kondisi carut marut kelembagaaan dan pengelolaan lembaga Komisi Informasi yang ada saat ini. Seluruh warga negara pengguna informasi publik menjadi terhambat, terhalang-halangi dan kehilangan hak konstitusionalnya atas akses informasi publik, karena Komisi Informasi telah dilemahkan secara sistematis dan menjadi lembaga khianat yang justru menghambat terwujudnya keterbukaan informasi publik di Indonesia. Hak warga negara itu terampas dan dirampas oleh elit kekuasaan yang korup melalui tangan Komisi Informasi, dengan modus menghambat dan menghalang-halangi hak warga negara atas akses informasi publik.

Namun, kesemua carut marut yang ada itu sesungguhnya dapat diurai dan dibenahi jika pengelolaan Komisi Informasi tidak berada ditangan orang-orang yang beritegritas rendah. Celakanya, hampir semua Komisioner Komisi Informasi di seluruh Indonesia, saat ini performanya menunjukkan kalau dirinya cuma seorang pemburu rente. Mereka lebih fokus untuk mengejar keuntungan finansial dibanding fokus menjalankan tugasnya untuk menyelesaikan sengketa informasi publik. Apa yang diamanatkan oleh pasal 3 UU KIP, yang menyebutkan tujuan pokok dilahirkannya UU KIP, yaitu untuk menjamin hak warga negara atas akses informasi publik, untuk mewujudkan tata kelola badan publik yang transparan dan akuntabel, untuk mendorong peran serta aktif setiap warga negara dalam proses kebijakan publik, dan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan serta mencerdaskan kehidupan bangsa, mungkin bagi mereka itu semua cuma dongengan belaka dan bukan urusan mereka. Karena kenyataan yang ada menunjukkan, hampir seluruh Komisioner Komisi Informasi, mulai dari pusat sampai daerah, lebih aktif berkegiatan yang ada honornya dan/atau ada SPPD-nya, ketimbang bergiat menyelesaikan sengketa informasi publik. Bahkan, di Komisi Informasi Pusat terdapat seribu lebih tunggakan sengketa dari tahun 2012 yang masih menumpuk belum diproses, namun dengan sangat tak tahu malu para Komsionernya justru rajin menghabiskan waktu untuk jalan-jalan ke luar daerah, mengisi acara sosialisasi/bimtek dan acara sejenis lainnya di hotel-hotel berbintang. Sedangkan tumpukan berkas sengketa yang ada tidak disentuh sama sekali. Hal yang sama juga terjadi di Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat. Ratusan berkas sengketa informasi publik juga menumpuk tak diurus, karena para Komisionernya sibuk dengan urusan lain, yang patut diduga tak jauh dari urusan perut. 

Begitupun, pada saat menjadi Mediator atau menjadi Majelis Komisioner yang menangani sengketa, dengan tanpa sungkan atau malu sedikitpun, para Komisioner itu menunjukkan sikap dan melakukan tindakan yang jelas-jelas memperlihatkan sikap berpihak dan membela kepentingan Termohon Senketa, yakni pihak Badan Publik. Tentu saja sangat dapat dimaklumi sikap dan tindakan para Komsioner amoral dan berintegritas rendah itu. Sebab, tindakan membela kepentingan badan publik tentu dapat berimplikasi keuntungan timbal balik yang dapat bersifat finansial langsung ataupun berupa keuntungan tidak langsung yang bersifat jangka panjang.
Share this article :
 
Support : Copyright © 2015. Perkumpulan_Sahabat_Muslim - All Rights Reserved
Template Created by Sahabat Muslim Published by Sahabat Muslim Indonesia