Latest Movie :

UU KIP Ungkap Kejahatan Debt Collector

Meskipun UU KIP (Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik) saat ini belum cukup memasyarakat dan belum begitu dirasakan manfat keberadaan-nya oleh kebanyakan warga negara (masyarakat), namun bagi warga negara yang telah cukup melek aturan, ternyata undang-undang KIP dapat digunakan untuk mengungkap tindak kejahatan yang tergolong, karena menyangkut kepentingan institusi bisnis/korporasi besar (Lembaga Pembiayaan/Bank).
Adalah seorang konsumen yang membeli kendaraan roda empat dari sebuah show room kendaraan Second (bekas pakai) di bilangan Bekasi, sebut saja MHS (namanya sengaja dirahasiakan), berhasil menggunakan UU KIP untuk mengungkap praktik kejahatan perampasan kendaraan bermotor miliknya yang dilakukan oleh Debt Collector dari BCA Finance. Ceritanya, pada suatu hari, tiba-tiba saja rumahnya didatangi 2 orang yang mengaku sebagai orang BCA dan menyatakan akan menarik mobilnya karena telah menunggak kredit. Karena MHS menolak menyerahkan kunci mobil, maka kedua orang itu kemudian pergi dan datang lagi bersama 4 orang rekannya dengan membawa mobil derek. Tanpa banyak bicara, para Debt Collector itu langsung beraksi dan beramai ramai menggotong mobil MHS ke atas mobil derek (lihat gambar, aksi koboi para Debt Collector).

Penasaran dengan tindakan brutal dari para Debt Collector BCA Finance itu, MHS kemudian mencoba mencari tahu mengenai prosedur dan tata cara penyelesaian tunggakan kredit kendaraan bermotor dengan browsing internet. Dan dari berbagai informasi yang diperoleh dari internet, MHS jadi tahu kalau pihak Finance memang dapat mengambil paksa kendaraan bermotor yang status kreditnya macet untuk kemudian dilelang oleh pihak Finance. Namun, tindakan mengambil paksa itu baru dapat dibenarkan apabila memenuhi syarat. Yaitu, pihak Finance telah mendaftarkan kendaraan bermotor yang menjadi obyek kredit sebagai jaminan fidusia, dan telah dikeluarkan sertifikat jaminan fidusia untuk kendaraan bermotor tersebut oleh Kementerian Hukum dan HAM.

Lalu, dengan menggunakan prosedur permohonan informasi publik, MHS mengajukan permintaan informasi kepada Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Jawa Barat. Yang intinya meminta informasi mengenai status hukum mobil miliknya yang telah ditarik paksa oleh pihak BCA Finance, apakah atas mobil tersebut telah didaftarkan jaminan fidusia dan telah memiliki sertifikat jaminan fidusia dari Kementerian Hukum dan HAM RI. Permintaan informasi diajukan kepada Kanwil Kemenkumham Provinsi Jawa Barat, karena penerbitan sertifikat jaminan fidusia didasarkan pada domisili pihak Konsumen yang tinggal di wilayah Jawa Barat.

Namun, sampai lebih 10 hari kerja, pihak Kanwil Kemenkumham Jabar sama sekali tidak menanggapi permintaan informasi yang diajukan. Kemudian MHS mendatangi dan menemui langsung Kepala Divisi Pelayanan Hukum Kanwil Kemenkumham Jabar di Bandung untuk menyatakan keberatan atas tidak ditanggapinya permintaan informasi publik yang sudah diajukan, dan telah melebihi batas waktu yang ditentukan oleh UU KIP.

Selang beberapa hari kemudian, pihak Kanwil Kemenkumham mengirimkan surat tanggapan atas permintaan informasi yang diajukan, yang menyebutkan bahwa pihak Kanwil Kemenkumham Jabar tidak dapat memberikan informasi yang diminta karena data mengenai sertifikat jaminan fidusia yang ada di Kanwil Kemenkumham Jabar hanya ada data manualnya saja. Yaitu, berupa data yang tercatat pada buku register permohonan jaminan fidusia yang diajukan oleh pihak lembaga pembiayaan. Sedangkan buku register tersebut jumlahnya sangat banyak. Karena berisi puluhan ribu bahkan ratusan ribu data permohonan pendaftaran jaminan fidusia. Jadi, untuk mengetahui apakah terhadap satu kendaraan tertentu yang menjadi obyek kredit itu berstatus telah didaftarkan jaminan fidusia atau belum di Kanwil Kemenkumham Jabar, harus dilakukan dengan membuka satu persatu buku register pendaftaran jaminan fidusia, yang jumlahnya sangat banyak dan berukuran sangat tebal. Maka, pihak Kanwil Kemenkumham Jabar menyatakan tidak dapat memberikan informasi yang diminta, karena kesulitan melakukan pencarian data dimaksud. Selanjutnya mempersilahkan pihak Pemohon untuk memeriksa sendiri buku register pendaftaran jaminan fidusia dimaksud di Kanwil Kemenkumham Jabar pada hari dan jam kerja. Dan juga dijelaskan bahwa data manual yang ada di Kanwil Kemenkumham Jabar hanya ada sampai bulan Nopember 2012. Karena terhitung Desember 2013, pengurusan pendaftaran jaminan fidusia telah dilakukan secara online dan ditangani langsung oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM RI di Jakarta.

MHS kemudian mengajukan permintaan informasi publik dengan substansi yang sama kepada Ditjen AHU Kemenkumham RI di Jakarta. Lagi-lagi hal yang sama juga terjadi di Ditjen AHU. Dimana sampai lewat batas waktu 10 hari kerja, pihak Ditjen AHU Kemenkumham RI sama sekali tidak menanggapi permintaan yang diajukan. Lalu, MHS menyampaikan surat keberatan dengan tembusan disampaikan kepada Inspektorat Jenderal Kementerian Hukum dan HAM. Dan setelah diajukan surat keberatan, barulah pihak Ditjen AHU memberikan tanggapan tertulis yang menyebutkan bahwa informasi yang diminta mengenai data jaminan fidusia atas kendaraan yang dimintakan informasinya oleh Pemohon, berdasarkan data di Ditjen AHU Kemenkumham RI tidak ditemukan datanya atau tidak terdaftar dan tidak pernah diterbitkan sertifikat jaminan fidusia atas kendaraan tersebut.

Kemudian MHS mendatangi kembali Kanwil Kemenkumham Jabar di Bandung dan menyerahkan copy surat jawaban dari Ditjen Kemenkumham RI, seraya meminta agar pihak Kanwilkemenkumham Jabar dapat mengeluarkan surat seperti yang dikeluarkan oleh Ditjen Kemenkumham RI. Namun, apabila ternayata pada data manual yang ada di Kanwil Kemenkumham Jabar terdapat data yang menunjukkan kalau terhadap mobil yang dimintakan status jaminan fidusianya adalah benar sudah didaftarkan di Kanwil Kemenkumham Jabar, maka dimohon juga untuk mengeluarkan surat resmi yang menyatkan bahwa benar terhadap kendaraan dimaksud telah didaftarkan jaminan fidusia dan telah dikeluarkan sertifikat jaminan fidusianya oleh Kanwil Kemenkumham Jabar. MHS beralasan bahwa sudah seharusnya pihak Kanwil dapat melakukan penelusuran data yang diperlukan. Dan alasan kesulitan melakukan penelusuran karena banyaknya data yang ada, sesungguhnya merupakan alasan yang tidak cukup berdasar hukum. Karena berdasarkan aturan UU KIP, badan publik dapat membebankan biaya penelusuran informasi kepada pihak Pemohon. Dan sebagai pihak Pemohon, saya menyatakan siap membayar berapapun biaya penulusuran informasi yang akan dibebankan, kata MHS. Dan apabila, pihak Kanwil Kemenkumham Jabar tetap tidak dapat memenuhi permintaan informasi yang diajukan, maka sebagai Pemohon saya akan menggunakan hak hukum untuk mengajukan sengketa informasi publik kepada pihak Komisi Informasi, sekaligus mengadukan tindakan Kanwil Kemenkumham Jabar kepada Inspektorat Jenderal Kemenkumham RI dan juga kepada Ombudsman RI, karena telah melakukan tindakan sengaja mempersulit pemberian pelayanan kepada masyarakat, pungkas MHS.

Selang beberapa hari sepulang dari Bandung, MHS mendapat kiriman surat dari Kanwil Kemenkumham Jabar yang isinya persis sama dengan isi surat Ditjen AHU Kemenkumham RI. Yaitu, diinformasikan kepada Pemohon, bahwa pada data manual Kanwil Kemenkumham Jabar tidak ditemukan data mengenai status jaminan fidusia untuk kendaraan bermotor yang dimintakan informasinya. Maka, dengan bermodalkan dua buah surat dari Kanwil Kemenkumham Jabar dan Ditjen AHU Kemenkumham RI tersebut, MHS kemudian mendatangi Polresta Bekasi Kota dan membuat laporan polisi dugaan tindak pidana perampasan kendaraan bermotor oleh pihak BCA Finance. Dimana tindakan pengambilan atau penarikan paksa terhadap kendaraan dilakukan dengan menyalahi prosedur dan aturan hukum yang berlaku. Kasusnya sampai saat ini masih dalam penanganan Unit Ranmor Reskrim Polresta Bekasi dengan status penyidikan. Dan menurut penyidik yang menangani laporan MHS, saat ini pihak Polresta Bekasi Kota telah menetapkah para Debt Collector yang melakukan penarikan paksa kendaraan, sebagai tersangka. Dan tidak tertutup kemungkinan, pejabat terkait di BCA Finance yang memberi perintah untuk dilakukannya penarikan paksa kendaraan, akan ikut dijadikan tersangka.

Kisah di atas adalah satu contoh yang menunjukkan praktik keterbukaan informasi publik sesungguhnya dapat memberi kemanfaatan yang signifikan kepada kepentingan masyarakat. Namun, cerita di atas sekaligus juga menunjukkan bahwa meskipun UU KIP telah memberi ruang bagi setiap warga negara untuk dapat menggunakan haknya mengakses informasi publik, namun pada prakteknya hal itu tidak mudah dan tidak sederhana. Seandainya saja MHS itu hanya orang awam yang tidak mengerti aturan hukum dan tidak memanfaatkan instrumen keterbukaan informasi publik, maka sangat mungkin MHS tidak akan pernah mengetahui kalau tindakan pihak BCA Finance adalah perbuatan pidana. Celakanya, praktik penarikan paksa kendaraan bermotor yang kreditnya macet atau tertuggak sesungguhnya marak terjadi dimana-mana di seluruh Indonesia. Beberapa kali media massa memberitakan tentang peristiwa penarikan paksa oleh Debt Collector yang dilakukan dengan cara-cara premanisme. Dan tindakan pengambilan paksa kendaraan oleh para Debt Collector itu acap kali dilakukan pada saat si konsumen sedang mengendari kendaraannya di jalan. Dimana dengan cara yang kasar, para Debt Collector yang rata-rata bertatto dan berwajah bengis itu menyetop kendaraan ditengah jalan dan memaksa si konsumen turun dari kendaraan, lalu merebut kunci kontak kendaraan dan membawa kendaraan serta meninggalkan si konsumen di pinggir jalan begitu saja. Bahkan, tidak jarang para Debt Collector itu melakukan tindak kekerasan, apabila pihak konsumen berani melawan atau menolak memberikan kendaraannya. Karena memang tugas utama yang diberikan oleh pihak Finance kepada Debt Collector adalah harus berhasil menarik kendaraan dari tangan konsumen yang menunggak kredit dengan cara apapun. Dan jasa Debt Collector diperhitungkan berdasarkan berapa banyak kendaraan yang berhasil ditarik dalam satu periode tertentu sesuai kontrak kerja yang disepakati.

     Yang menjadi catatan penting untuk dijawab pertanyaannya oleh pihak berwenang adalah, kenapa kasus-kasus perampasan kendaraan bermotor dari konsumen yang menunggak pembayaran kreditnya, yang dilakukan oleh para Debt Collector dari berbagai lembaga pembiayaan/Bank terus marak terjadi dan sangat jarang yang terungkap atau berhasil diungkap poleh pihak Kepolisian? Bukankah sewajarnya ada koordinasi antar instansi terkait? Dalam hal ini, Kementerian Hukum dan HAM, yang memiliki data jaminan fidusia, dengan pihak Kepolisian, yang berwenang menangani pasal pidananya, dan pihak Otoritas Jasa Keuangan, yang berwenang mengenakan sanksi administratif kepada lembaga pembiayaan nakal, yang kebanyakan menabrak prosedur dan tidak mengurus jaminan fidusia atas kendaraan yang diberikan fasilitas pembiayaan kredit, karena tidak mau repot mengurusnya dan karena tidak mau membayar pajak sertifikat jaminan fidusia?

Alangkah tepatnya apabila fenomena kejahatan perampasan kendaraan bermotor oleh bandit-bandit Debt Collector yang dipelihara oleh lembaga-lembaga pembiayaan nakal itu dapat disikapi secara tepat dari sisi keterbukaan informasi publik oleh Komisi Informasi. Sekiranya Komisi Informasi dapat cerdas dan tangkas untuk menangkap fenomena tersebut, dan dengan menggunakan isu keterbukaan informasi publik, seharusnya Komisi Informasi dapat mengambil peran strategis untuk mendukung keberhasilan penegakan hukum dalam konteks pencegahan tindak pidana, sekaligus turut andil mengamankan sumber penerimaan negara dari pendapatan pajak sertifikat jaminan fidusia. Sesungguhnya Komisi Informasi dapat menggunakan kewenangannya dengan menerbitkan regulasi yang menentukan bahwa informasi data jaminan fidusia yang dimiliki oleh Kementerian Hukum dan HAM RI adalah termasuk jenis informasi publik yang wajib diumumkan secara berkala. Dengan demikian, publik jadi mengetahui apakah terhadap satu kendaraan bermotor tertentu telah didaftarkan dan telah memiliki sertifikat jaminan fidusia atau belum. Dengan terbukanya informasi tersebut kepada publik, maka masyarakat konsumen dapat melakukan perlawanan hukum apabila pihak lembaga pembiayaan masih memaksakan menggunakan cara-cara premanisme melalui jasa Debt Collector. Begitu juga melalui keterbukaan informasi jaminan fidusia, pemasukan kepada negara melalui pajak sertifikat jaminan fidusia atas setiap kendaraan bermotor yang menjadi obyek kredit dapat diselamatkan dari pengemplangan pajak oleh lembaga-lembaga pembiayaan nakal. Karena ditengarai kalau ratusan ribu bahkan jutaan kendaraan bermotor yang dijual dengan fasilitas kredit melalui lembaga pembiayaan, lolos dari membayar pajak sertifikat jaminan fidusia, karena tidak didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM RI. Padahal, Peraturan Menteri Keuangan telah mewajibkan pihak lembaga pembiayaan untuk mendaftarkan dan membayar pajak sertifikat jaminan fidusia untuk setiap pembiayaan kredit kendaraan bermotor, dan melarang melakukan tindakan penarikan paksa atas kendaraan bermotor yang tidak didaftarkan jaminan fidusia.
Share this article :
 
Support : Copyright © 2015. Perkumpulan_Sahabat_Muslim - All Rights Reserved
Template Created by Sahabat Muslim Published by Sahabat Muslim Indonesia